Teladan dari Shahabiyah dan Tabi’iyah (bagian ke-1): Teladan Dalam Intelektualitas
Salah satu metode yang efektif dalam dunia
pendidikan Islam adalah dengan memberikan teladan atau contoh. Di dalam
ilmu psikologi di kenal dengan istilah modelling. Rasulullah saw di utus
oleh Allah juga salah satunya agar bisa dijadikan contoh/teladan bagi
umat manusia. Hal ini tertuang di dalam surat al Ahzab 21
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw suri teladan yang baik bagi orang-orang yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya”
Teladan
utama kita adalah Rasulullah saw. Pada sisi lain, Rasulullah saw juga
menyatakan bahwa kita diperintahkan untuk mencontoh para sahabat,
sebagai generasi /kurun yang terbaik.
Firman Allah swt surat Ali Imran 110
“Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan kepada manusia. Menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”
Pada
hakikatnya, contoh /teladan kebaikan bisa datang dari siapa saja,
sepanjang kebaikan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah
dan RasulNya. Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang shaleh
salihah dari generasi setelah shahabat dan seterusnya dapat kita jadikan
contoh/teladan sepanjang tetap berpegang teguh pada dienuLLAH.
1. Teladan dalam Intelektualitas
a. Aisyah binti Abu Bakar ashidiq (shahabiyah)
Aisyah
adalah belahan jiwa Rasulullah saw di dunia dan di akhirat. Beliau,
adalah sosok ahli fiqih yang taat pada Rabbnya. Pada saat Rasulullah saw
meninggal dunia, usia Aisyah baru menginjak 19 tahun setelah sembilan
tahun hidup bersama Rasulullah saw.
Namun demikian, Aisyah telah
memenuhi seluruh penjuru dunia dengan ilmu. Dalam hal periwayatan
hadits, beliau adalah tokoh yang sulit di cari bandingannya. Ia lebih
memahami hadits, dibanding istri-istri Rasul yang lain.
Dalam masalah jumlah hadits yang diriwayatkannya, tidak ada yang menandingi, selain Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.
Ad-Dhahabi berkomentar dalam kitab as Sair jilid II, halaman 240,
“Saya
tidak pernah melihat pada umat Muhammad saw, bahkan wanita secara
keseluruhan, ada seorang wanita yang lebih alim dari Aisyah RA.”
Dalam beberapa kasus, Aisyah mengoreksi pemahaman para sahabat dan menjadi rujukan dalam memahami praktek Rasulullah saw
Di
dalam al –Mustadrak, az-Zuhri berkomentar: “seandainya ilmu semua
manusia dan ilmu istri-istri nabi digabungkan, niscaya ilmu Aisyah lebih
luas dari ilmu mereka.
Menurut Adz-Dzahabi, musnah Aisyah mencapai 2210 hadits.
Imam
Bukhari dan Imam Muslim sepakat atas riwayat Aisyah sebanyak 140
hadits. Secara individu Bukhari meriwayatkan 54 hadits Aisyah, dan
Muslim meriwayatkan 69 hadits.
Hakim Abu abdillah berkata: “Aisyah RA, membawa ¼ syariah Islam.
Urwah
Ibnu Zubair berkata: Saya tidak melihat seorang pun yang lebih pandai
dalam masalah ilmu fiqih, kedokteran, dan sastra selain Aisyah RA.
Demikianlah
keluasan ilmu Aisyah RA. Para wanita mukminah di masa sekarang ini,
khususnya para aktivis dakwah sudah semestinya meneladani beliau RA
dalam hal keluasan ilmunya. Ya Alim, rabbi zidni ilmaa.
b. Amrah binti Abdurrahman (Tabiin Anshar)
Dia
adalah murid Aisyah RA seorang wanita yang alim, ahli fiqih, luas ilmu
dan wawasannya. Ia meriwayatkan hadits dari Aisyah, ummu Salamah dan
Rafi Ibnu Khudaij serta ummu Hisyam binti Haritsah.
Beberapa orang
meriwayatkan hadits dari Amrah, antara lain : Abu Rijal Muhammad
Ibnu Abdurrahman , Haritsah, Malik, Abu Bakar Ibnu Hazm, dan kedua anak
beliau, yaitu Abdullah dan Muhammad , serta Az – Zuhri.
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Tidak ada seorang pun yang memahami hadits-hadits Asiyah RA, selain Amrah.
Ibnu Hibban menyebutkan: Ia adalah sosok wanita yang paling mengerti hadits-hadits Aisyah RA.
c. Hafshah binti Sirin Ummu Hudzail.
Seorang ahli fiqih dari golongan Anshar, pemuka wanita para tabiin, dikenal sebagai ahli ibadah, fiqih, qiraat dan hadits.
Hafshah
meriwayatkan hadits dari Ummu Athiyah dan Ummu Raih dan budaknya Anas
Ibnu Malik dan Abu Aliyah. Saudara laki-lakinya , Ahmad, Qatadah, Ayyub,
Kalid al Hadza, Ibnu Aun dan Hisyam Ibnu Hasan meriwayatkan hadits dari
Hafshah.
Ia telah mampu membaca Al-Qur’an pada usia 12 tahun.
Hidup selama 70 tahun dan menasihati para pemuda untuk melakukan
kebajikan. Salah satu yang diucapkannya adalah: Wahai para pemuda,
galilah potensi pada waktu kalian masih muda belia. Dan aku melihat masa
muda sebagai periode beramal dan bekerja.
Inilah sosok Hafshah,
tinggal di rumahnya selama 30 tahun dan tidak keluar dari tempat
shalatnya kecuali untuk tidur siang dan keperluan penting. Ia meninggal
dunia dan usianya lebih dari 100 tahun.
d. Muadzah al Adawiyah.
Di
kenal sebagai ahli balaghah, fasih tutur katanya, gemar menuntut
ilmu-ilmu agama, dan meriwayatkan hadits. Adz-Dzahabi menjulukinya
Sayyidah Al Alimah (pemuka orang-orang alim).
Ia meriwayatkan
hadits dari Ali, Aisyah dan Hisyam Ibnu Amir. Nama-nama yang
meriwayatkan hadits darinya adalah Abu Qilabah, Yazid Ibnu Rasyak, Ashim
Ibnu Ahwal, Ayyub as-Sikhtiyani.
Ia pernah berkata kepada seorang
wanita dewasa yang pernah disusuinya: “Wahai anakku, jadilah orang yang
takut dan berharap ketika bertemu Allah, karena Aku melihat orang yang
selalu berharap kepada Allah akan dipenuhi kebaikan ketika berjumpa
dengan Tuhannya. Dan aku melihat, orang yang takut kepada Allah berharap
akan bertemu dengan Tuhan saat manusia dibangkitkan. Kemudian ia
menangis,
e. Fatimah binti as Samarqandi
Imam
Abu Bakar as-Samarqandi mengajarkan ilmu agama kepada Abu Bakar al
Kasyiani. Kemudian sang guru menikahkannya dengan putrinya yang ahli
ilmu fiqih.
Disebutkan bahwa alasan ia dinikahkan dengan putrinya
adalah bahwasanya putrinya adalah seorang yang cantik jelita Ia telah
hafal kitab At –Tuhfah karangan ayahnya. Banyak raja –raja Romawi yang
ingin meminangnya, tetapi ayahnya menolaknya. Mahar untuk pernikahannya
adalah syarah dari kitab At-tuhfah, karangan Abu Bakar al Kasyaini, yang
diberi judul Al Badaai’.
f. Lathifah, Ibunda Imam Syafii.
As-Subki
berkata: Ibunda Imam Syafi’i adalah wanita ahli ibadah yang sangat
jenius. Pernah suatu kali ketika dia diminta menjadi saksi pengadilan
bersama Ummu Basyar al Marisi. Ketika hakim ingin menanyai secara
terpisah, ia berkata: wahai Hakim, engkau tidak berhak melakukan hal
itu, karena Allah swt telah berfirman, “supaya jika seorang lupa, seorang lagi dapat mengingatkannya “
Halim
kemudian tidak jadi menanyainya secara terpisah. As- Subki kemudian
memberikan komentarnya atas kisah tersebut: Sebuah ide yang brilian,
kuat dan alternatif baru dalam penafsiran.
g. Nafisah binti Hasan Ibnu Zaid, putra cucu nabi.
Seorang
penghafal Al Qur’an, sekaligus menguasai tafsir dan hadits. Ibnu
Khalkan menyebutkan bahwasanya ketika Imam Syafii wafat, jenazahnya
dihadirkan kepadanya dan menyolatkan jenazahnya di rumahnya.
Iiam
Az Dzahabi berkata: Kami tidak banyak mendengar tentang kisah-kisahnya.
Dia berkata: “Karena kebodohan orang-orang Mesir dan kepercayaannya yang
melampaui batas, meski telah ada larangan yang mendekati syirik, mereka
bersujud dan meminta ampunan darinya”.
Ibnu Katsir berkata:
Hingga
saat ini, masyarakat awam keterlaluan dalam hal kepercayaan kepadanya,
juga tentang hallain, Apalagi masyarakat Mesir suka melontarkan
ungkapan-ungkapan tidak benar dan sembrono yang bisa mengantarkan pada
kekufuran dan kesyirikan.
h. Karimah binti Ahmad.
Beliau
diibaratkan sebagai tiang tengah penyangga hadits-hadits nabi. Keluasan
ilmu dan penguasaannya terhadap hadits tidak diragukan lagi, sehingga
para ulam besar rela berdesak-desakkan untuk menghadiri majelisnya, demi
mendengarkan untaian-untaian haditsnya.
Para ulama mengakui
keutamaan dan keteladanannya sebagai orang yang pertama kali mengajarkan
kitab shahih Bukhari secara utuh, tuntas dan menyeluruh. Sehingga abu
Dzar, seorang ulama hadits dari kota Harrah, berwasiat kepada
murid-murid agar tidak belajar kitab Shahih Bukhari kecuali kepadanya.
Di
antara para imam yang belajar shahih Bukhari kepadanya adalah Hafizd
Abu Bakar Al-Khatib dan Abu Thalib al Husain Ibnu Muhammad Zainabi.
Dalam kitab al-siyar, Ad Dzahabi menggambarkan karakternya sebagai berikut:
Wanita
agung, ahli ilmu dan mempunyai sanad hadits yang derajatnya tinggi…
Mempelajari shahih Bukhari dari jalur Abu Haitsam al Kusymihani,
Dzahir Ibnu Ahmad as –Sarkhasi dan Abdullah Ibnu Yusuf Ibnu Bamuwaih
As-Ashbahani. Tingkat pemahaman dan pengetahuannya di atas rata-rata
semakin kuat dipadu dengan kebaikan pekerti dan ketekunannya beribadah.
Imam
Abu Ghanaim berkata: Suatu kali Karimah menyodorkan redaksi Shahih
Bukhari kepadaku, dan aku menyalinnya sesuai dengan redaksinya. Ketika
menyelesaikan tujuh bundel, aku membacanya di hadapannya. Selanjutnya
aku bermaksud menyalinnya sendiri tanpa harus membaca di hadapannya. Dan
ketika aku utarakan keinginanku kepadanya, ia menjawab “Tidak bisa,
kamu harus memeriksakannya kepadaku. Lalu aku selalu memberikan
salinanku kepadanya.
– Bersambung
(hdn)
0 Response to "Teladan dari Shahabiyah dan Tabi’iyah (bagian ke-1): Teladan Dalam Intelektualitas"
Post a Comment