Episode Syawal, Momentum Peningkatan

“Barang siapa telah berpuasa di Bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan enam hari dari Bulan Syawal (puasa), maka ia adalah seperti (pahala) puasa ad-Dahr (setahun)” HR Bukhari, no 6502.
Dalam kalender Hijriyah, bulan Syawal adalah  bulan yang kesepuluh setelah bulan Ramadhan. Disini saya tidak akan memaparkan (mungkin ada) polemik sekitar makna Syawal itu sendiri, karena bukan kapasitas saya. Namun saya akan memaparkan tentang pendapat saya seputar keharusan kita sebagai Hamba Alloh SWT seusai menunaikan Shoum Ramadhan, dengan ilmu, maroji’  yang saya peroleh.
Di bulan Syawal ini, yang lebih tepat dengan pendapat saya adalah seusai kita berpuasa di bulan Ramadhan  yang lalu, tentu kita memahami benar bahwa tujuan kita berpuasa di bulan Ramadhan adalah  capaian maksimal dalam ketaqwaan kita kepada ALLOH Azza Wajalla. Dan seusai Ramadhan tentu jika capaikan tersebut berhasil tentu mampu  meningginya derajat kita.  Tentu hal ini berdasar pada Sabda Rosul Saw, jika kita ikhlas dalam menunaikan shaum Ramadhan maka  jaza’  yang akan kita peroleh adalah mendapatkan maghfiroh dari Allah.
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dengan  dasar keyakinan  dan ekspektasi tersebut, tentu kita tidak semestinya, menyia-nyiakan  perjuangan  kita selama bulan Ramadhan  yang lalu, dengan hanya bersantai ria. Contoh,Ramadhan yang lalu kita rajin meramaikan (baca, memakmurkan) masjid dengan ragam kegiatan keagamaan, sosio-kultural, keremajaan, dll. Namun seusai Ramadhan, malah seakan “menjauh” dari masjid. Masjid layaknya sudah menjadi tempat yang sepi, jarang dirambah manusia saja. Belum lagi aktifitas (amal) kebaikan kita yang lain. Inikan ironi, jika benar-bernar terjadi !.
Sebulan penuh (Ramadhan) kita ditempa, digembleng, bak orang tua kita bilang, Puasa sebagai  kawah candradimuka, sarana penguatan diri kita, jasadiyah, fikriyah, qalbiyah, dan amaliyah. Eee ketika usai Ramadhan kok, mudah sekali semua itu dilupakan (tidak dilakukan). Inikan eman-eman (sayang) !.
Semua perbuatan kita yang tidak berguna/manfaat atau bahkan melalaikan, harus kita buang jauh-jauh, terlebih yang dilarang ALLOH SWT, terbersit/terfikirkan saja tidak apalagi dilirik dan dilakukan. Tentunya, ini semua kita lakukan untuk mencapai bukti peningkatan keislaman kita. Rosululloh Saw bersabda : Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya).


Usai Ramadhan seharusnya momentum kita untuk pembuktian ketaqwaan, ketaatan dan kepekaan kita, bahkan sampai hadirnya kembali bulan Mulia, Ramadhan.
Dan bulan Syawal, adalah bulan yang memang  bulan (waktu) yang kaitan langsung dengan Ramadhan, Mengapa demikian ? menurut saya, karena selesai Ramadhan langsung masuk Syawal, tentu ini beririsan langsung, berbeda jika waktunya ada jeda (interval satu bulan dsb). Selanjutnya hasil nyata, pembuktian hasil perjuangan selama Ramadhan adalah waktu-waktu setelahnya, yakni Syawal. Dan logis juga jika di Syawal ini banyak kita yang tetap berupaya menguatkan kebaikan, sebagai kelanjutan (istimroriyah) tarbiyah di bulan Ramadhan.
Tentu, istimror-nya amalan kita bermakna pula peningkatan, dan masing-masing kita juga tentu mampu menakar dengan parameter amalan/kwalitas kita sebelum Ramadhan. Jika kita saat ini, Syawal, ternyata bersikap lebih baik, amalan lebih baik dan kwantitaspun juga lebih, maka makna penggemblengan kita dan kelanjutan amal kita di Syawal ini tercapai. Dan ini belum cukup, bagi kita yang benar-benar dan  yakin, kehati-hatian kita (Taqwa) tentu membutuhkan komitmen atau keistiqomahan agar tetap pada trackrecord positive hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini (Tarbiyah Ramadhan). Ketika istimror dalam ibadah dan amal solih sekalipun diluar Romadhon, maka indikator istiqomah pun telah kita upayakan.

Puasa Sunah 6 hari di bulan Syawal
“Barang siapa telah berpuasa di Bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan enam hari dari Bulan Syawal (puasa), maka ia adalah seperti (pahala) puasa ad-Dahr (setahun)” HR Bukhari, no 6502.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari diatas, menjadi spirit kita untuk meningkatkan (tarkiyah) amal ibadah kita. Terutama perihal shoum.  
Perihal shoum, tentu kita harus menguatkan prinsip bahwa tak peduli apakah bulan Ramadhan atau bukan, semua aktifitas ibadah harus tetap kita lakukan, hanya saja memang di bulan Ramadhan ada keistimewaan dengan akan dilipat gandakan semua amal ibadah kita. Termasuk berpuasa. sebagaimana dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kali sehingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya” (HR. Muslim)
Mengenai adanya pendapat (dari beberapa sumber), tentang “seperti (pahala)puasa  Ad-Dahr (setahun), yakni memaknai hadits diatas secara matematis,yakni  jika diselaraskan dengan hadits, setiap kebaikan akan bernilai 10 kebaikan, maka bisa kita kalkulasikan,  Puasa Ramadhan adalah 30 hari ((1 bulan) x 10 = 10 bulan) + (6 hari Syawal x 10 = 60 hari (2 bulan). Jadi 10 bulan + 2 bulan = 12 bulan (1 tahun)).
Memang, hal diatas baru semacam persepsi secara matematis, dan tentunya kita menyakini bersama bahwa kebaikan (pahala) ALLOH atas perbuatan amal sholeh hamba-NYA bisa melebihi dari hitungan diatas. Dan inilah expektasi besar kita tentang balasan ALLOH SWT terhadap hamba-NYA yang rajin beramal sholeh.
Syawal dalam Perspektif Rumah Tangga
Bagi kita yang sudah membina rumah tangga, tentu makna seusai Ramadhan-pun harus menjadi momentum refleksi bersama pasangan untuk meningkatkan  kwalitas keluarga semakin  KOKOH. Kokoh dalam hal interaksi suami istri, kokoh dalam hal pendidikan keluarga (terhadap pasangan dan anak), kokoh dalam hal ekonomi keluarga dan terpenting kwalitas dan kwantitas amal kepada ALLOH dan lingkungan.
Banyak diantara kita, momentum Ramadhan yang lalu punya arti tersendiri bagi kita dalam hal Tarbiyah Keluarga. Apalagi yang sudah dikarunai keturunan, Ramadhan sebagai sarana pendidikan efektif dan   cukup waktu, sebulan penuh, berinteraksi dengan amalan amalan yang sarat akan penanaman karakter (syakhsiyah islamiyah).
Tentu, usai Ramadhan, Keluarga kita mempunyai berbagai macam cerita yang selalu kita kenang, sebagai pengalaman dalam keluarga. Bagi buah hati, meski masih belia, dan belum mampu shoum sehari penuh, dan sholat penuh, kemasjid, namun  tentu ekspresi dan  cerita selama Ramadhan itu ia sampaikan ke kita (ayah bunda)  dengan penuh ceria.
Betapa tidak, mereka kita latih (juga oleh ustadzah mereka) untuk “berpuasa” sampai jam 9/10 pagi (dari subuh tidak makan nasi/snack, yah klo agak kasihan cukup diberi minum saja). Dan ‘puasa” mereka tetap dilanjutkan, meski hanya interval 2/3/4 jam. Yang jelas, penanaman vealue karakter,” agar ALLOH sayang kita“ tetap kita upayakan.
Boleh jadi, banyak diantara kita juga sudah banyak yang melatih buah hati kita berpuasa setengah hari bahkan satu hari. Bagi saya, yang sangat fundamen adalah penanaman karakter ilahiyah tersebut secara dialogis dan menghindari pemaksaan. Karena mereka (buah hati) masih akan menjalani waktu lebih panjang dari kita (ayah bunda), insya’ALLOH.

*) Oleh : Dhanie Asy-syakib
               http://rumahceriamuslim.blogspot.com
(Merangkai kata, merajut asa, semoga berguna)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Episode Syawal, Momentum Peningkatan"

Post a Comment